Hidup manusia itu singkat. Jika beruntung, mungkin kau bisa hidup kurang lebih satu abad lamanya, tetapi jarang ada yang bisa mencapai usia itu. Rata-rata orang yang kukenal, semuanya meninggal dalam usia relatif muda.
Seperti…orang ini.
Walau aku tak percaya. Walau aku butuh berhari-hari untuk mencernanya dengan baik maksud dari kabar sedih ini. Walau aku tak bisa melihat wajahnya yang terakhir karena peti mati itu kosong.
Tapi, kakak kami—orang yang kami anggap sebagai kakak dan ayah kami, sudah tiada.
Yah, buat orang lain, dia hanyalah satu dari sekian banyak orang yang lalu-lalang di kota. Hanya satu dari ratusan juta jiwa yang menempati Rune Midgard ini. Tetapi bagi kami, dia adalah orang yang penting. Orang yang memberikan kami harapan untuk hidup, harapan untuk masa depan yang lebih baik. Kehilangan ini membuat luka batin di hati kami—nah, kan. Deimos masih menangis sesegukan begitu. Sudah berapa lembar tisu yang harus kukeluarkan untuk menyeka air mata yang masih saja tak berhenti mengalir itu. Mungkin aku harus menyiapkan kompres untuk matanya nanti, pasti akan membengkak besok pagi.
Tidak hanya Deimos yang menangis, sih. Yang lain juga terpukul dengan kenyataan ini. Aku? Aku juga sedih, tahu. Kau kira aku manusia tanpa hati? Kesedihanku kira-kira tak beda jauh dengan Deimos, tetapi aku memang berusaha untuk lebih tegar untuk anak-anak ini. Untuk keluarga kami. Kalau terus-menerus sedih seperti ini, kami tidak bisa maju dan berjalan lagi ke depan. Aku yakin, kok, dia tak mau kami terpuruk terus dalam kesedihan.
Kami harus mandiri. Harus berjuang. Demi hidup kami masing-masing. Untuk harapan masa depan kami. Dan…untuk meneruskan perjuangannya.
Perjuangan dari Dietrich.
-2 years later-
“MAHAL BANGET! Memangnya kamu butuh barang jelek begini?!”
Deimos menggerutu, “Enak saja kamu bilang jelek, ini barang bagus, tahu! Atau setidaknya, penting untuk perlengkapanku memburu monster nanti.”
“Daripada kamu beli barang itu, lebih baik cari sendiri saja—” aku menggeram kesal, “Nanti aku carikan, deh. Hemat sedikit daripada kamu beli barang itu mahal-mahal yang sebenarnya bisa dicari sendiri.”
“Serius? Demi apa? ASYIK! Phobos memang saudara kembarku yang paling baik, deh!”
Pujiannya berujung pelukan sok mesra yang membuat orang-orang di sekitar kami jadi jijik dan berpikir yang aneh-aneh. Wajahku merah padam karena malu, tanpa pikir panjang langsung kudorong saja Deimos lalu kujitak.
“Adow! Serius, deh, selera humormu di mana, sih?”
“Humor apanya?! Dasar orang gila—”
Belum selesai aku menggerutu padanya, pandanganku beralih ke salah seorang yang ada di sudut jalanan. Seorang Priest, bersama beberapa anak-anak kecil, nampaknya mereka habis belanja. Tetapi bukan itu yang menjadi fokus utamaku. Wajahnya…wajah itu sangat familiar. Terlalu familiar, malahan. Mataku tak bisa berhenti menatap Priest tersebut, mengamati baik-baik wajahnya.
Potongan rambutnya berbeda dari yang kuingat, tetapi wajahnya masih sama. Tak mungkin, masa….
“Phobos? Phobos, hei~ Tok, tok, tok, ada Phobos di rumah?”
Telapak tangan Deimos yang berayun-ayun di depanku membuatku sadar seketika. Priest itu menghilang dari sudut jalanan, dan aku masih penasaran. “Sorry, Deimos. Harus mengejar sesuatu dulu. Pulang duluan juga tidak apa-apa, kok.”
“He? Ha? Kenapa—wei! Jangan tiba-tiba tinggalkan aku begitu, dong!”
Tapi, Deimos sungguhan pulang sendiri setelah itu. Dan aku masih berlari, mencoba mengejar Priest tersebut. Wajah itu, tidak salah lagi. Dia—tapi, bukankah dia seharusnya sudah…
—tapi, peti itu kosong.
Tak ada bukti nyata kalau dia sungguhan tiada.
Pengejaranku berhenti di gereja satu-satunya di sudut kota ini. Aku tidak masuk ke dalam, karena aku tidak yakin kalau gereja mau menerima orang seperti kami ini, sih. Aku menyelinap diam-diam di luar gereja, melirik ke dalam jendela gereja untuk melihat apakah Priest tadi ada di dalam sana.
Ada. Dia duduk bersama dengan anak-anak tadi.
Melihat Priest itu sedang bercengkrama dengan para anak-anak tersebut, mengingatkannya saat aku masih lebih kecil dulu. Dulu, iya, kami juga sering seperti ini. Berkumpul bersama, mengobrol apa saja, mendengarkan cerita-cerita dari para anak yang lebih tua, yang melakukan perjalanan ke luar panti asuhan. Bersenda gurau bersama, bagiku tak ada kebahagiaan yang lebih jika dibandingkan dengan kebersamaan itu.
Semenjak orang itu “tiada”, kebahagiaan kami tidak bisa lengkap. Aku tahu, kami tak bisa kembali ke masa itu. Masa lalu hanya tinggal kenangan. Kami hanya bisa berjuang, mencoba untuk meraih apa yang menjadi keinginan terakhirnya. Keinginannya untuk kebahagiaan kami. Kami memang sudah mencobanya, dan kami bahagia.
Tetapi, apa artinya kebahagiaan tanpa dirinya? Bahagia, memang, tetapi masih ada kekosongan di dalam kebahagiaan kami.
Kami…bukan, aku ingin dia ikut berbahagia bersama kami.
Tetapi melihat dirinya yang sekarang, mungkin ini jalan yang terbaik. Dia nampak bahagia dan tidak banyak berubah. Kami pun juga seperti itu. Aku tak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya, tetapi aku tak punya kuasa untuk mengusik kebahagiaan orang lain seperti ini. Itu egois.
Hidup manusia itu pendek. Dan kurasa, kami harus menjalani hidup yang pendek ini sebaik-baiknya. Tak ada yang tahu apa yang akan menghadang kami di masa depan, tetapi kami tidak akan mengecewakan keinginan terakhirnya. Walau sekarang dia “tak ada”, kami akan terus berusaha untuk bagiannya juga.
“Selamat tinggal, terima kasih…” aku menyeka kedua mataku, berbalik meninggalkan gereja tersebut. Pulang ke rumah.
Dietrich. Orang yang kami anggap sebagai kakak dan ayah kami. Aku hanya berharap ia bisa bahagia dengan kehidupannya yang baru itu. Sebagai seorang Priest, bukan sebagai seorang Assassin lagi.